Di antara masalah yang berkenaan dengan energi nasional antara lain adanya kecenderungan konsumsi energi fosil yang semakin besar, energi mix yang masih timpang, dan harga minyak dunia yang tidak menentu. Energi mix mencerminkan proporsi berbagai jenis energi yang digunakan secara nasional. Oleh karena itu, adanya ketimpangan energi mix berarti juga terjadinya penggunaan salah satu jenis energi yang terlalu dominan. Contohnya penggunaan energi secara nasional pada tahun 2003 yang berasal dari minyak bumi masih sekitar 54,4 %, sedangkan porsi sisanya menggunakan lebih dari empat jenis energi lainnya, yaitu gas bumi, batubara dan lainnya. Secara lebih rinci, proporsi penggunaan gas bumi adalah 26,5 %, batubara 14,1 %, tenaga air 3,4 %, panas bumi 1,4 %, sedangkan penggunaan energi lainnya termasuk bahan bakar nabati atau biofuel hanya sekitar 0,2 % (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, 2006). Hal ini juga berarti bahwa Indonesia sangat tergantung terutama pada ketersediaan minyak bumi. Selain itu, penggunaan energi nasional juga masih sangat boros. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya perbandingan antara tingkat pertumbuhan konsumsi energi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional atau biasa disebut elastisitas energi. Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Jepang dan Amerika Serikat yang elastisitas energinya hanya 0,10 dan 0,26, elastisitas energi nasional Indonesia masih tinggi, yaitu sekitar 1,84. Ketimpangan energi mix dan masih tingginya elstisitas energi secara nasional ini mengakibatkan beban nasional semakin berat, sehingga memerlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya.

Agenda nasional mengenai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam jangka pendek 5 tahun ke depan juga telah menyinggung masalah energi , terutama adalah pengembangan energi terbarukan (Kadiman, 2006). Hal ini tentu sejalan dengan langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah energi nasional. Jika disinggung masalah energi terbarukan, maka selain sumber energi alternatif seperti angin, surya, gelombang dan lainnya, tentu juga akan mengarah kepada sumber alternatif lainnya yaitu bahan bakar nabati (BBN), khususnya komoditas asal tanaman perkebunan. Seperti juga saat Indonesia mengalami krisis moneter, maka pertanian masih menjadi andalan dalam mengatasi masalah energi secara nasional. Khusus untuk minyak tanah, masyarakat secara umum selalu memahami bahwa penggunaannya pasti lebih banyak oleh masyarakat berpendapatan rendah, dan oleh karenanya perlu terus disubsidi. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Minyak tanah umumnya dikonsumsi oleh rumah tangga untuk memasak dan untuk penerangan, terutama di daerah yang belum tersedia listrik. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS setiap tiga tahun menunjukkan bahwa minyak tanah dikonsumsi oleh sekitar 65 ribu rumah tangga Indonesia. Konsumsi minyak tanah meningkat 11%, dari 3,1 liter per bulan pada tahun 1996 menjadi 3,5 liter per bulan pada tahun 1999. Akibat jumlah penduduk selama periode tersebut juga bertambah, maka jumlah total konsumsi minyak tanah meningkat lebih cepat, yaitu sekitar 14%, dari 7,4 milyar liter pada tahun 1996 menjadi 8,5 milyar liter pada tahun 1999. Upaya-upaya telah dilakukan pemerintah melalui kampanye hemat energi maupun cara lain. Data lain menunjukkan bahwa, walaupun masih terjadi kenaikan konsumsi minyak tanah yang puncaknya terjadi pada tahun 2004, yaitu menjadi 11,846 milyar liter, tetapi tahun-tahun berikutnya tejadi penurunan menjadi sekitar 10 milyar liter pada tahun 2006. Angka inipun masih tinggi, sehingga subsidi pemerintah khusus minyak tanah masih mencapai sekitar 34,51 triliun rupiah. Kenyataannya subsidi tersebut tidak dinikmati oleh masyarakat berpendapatan rendah, karena pengguna minyak tanah sebagian besar adalah masyarakat berpendapatan sedang ke atas. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya lain, di antaranya adalah penggunaan bahan bakar nabati (BBN), untuk mengurangi subsidi,sekaligus menyediakan kebutuhan masyarakat bawah atas terhadap minyak tanah.

0 komentar