Penggunaan langsung minyak murni maksudnya adalah penggunaan minyak hasil tanaman (pure plant oil atau crude oil) tanpa perlu proses transesterifikasi. Proses transesterifikasi memerlukan biaya tambahan dibandingkan jika hanya menggunakan minyak murni. Pembuatan biodiesel melalui proses transesterifikasi memerlukan metanol sebagai katalisator. Semakin banyaknya produksi biodiesel dan mahalnya metanol akan menjadi kendala tersendiri. Jika tujuannya adalah membantu masyarakat kelas rendah pengguna minyak tanah, maka minyak murni menjadi pilihan, karena pengguna utama biodiesel adalah sektor transportasi, termasuk masyarakat kelas menengah ke atas penggunan kendaraan bermotor. Secara nasional memang penggunaan bahan bakar minyak asal fosil (BBM) adalah sektor transportasi. Jadi juga tidak salah jika pemerintah ingin mengatasi hal ini.

Kedua pilihan di atas masing-masing memiliki kendala dan persyaratan. Untuk menggantikan minyak tanah, penggunaan minyak murni belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Minyak murni terutama asal jarak pagar masih mengandung ”gum” yang biasanya menghasilkan kerak sisa pembakaran yang cukup nyata, yang dapat menyebabkan spuyer atau nozzle buntu. Titik bakar yang cukup tinggi dari minyak murni, memerlukan proses pembakaran tertentu untuk menghasilkan penyalaan yang baik. Oleh karena itu, penggunaan minyak murni memerlukan peralatan atau kompor khusus, yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dibuat dan dicoba-coba. Menurut sifatnya, maka minyak murni harus dalam bentuk kabut atau uap agar dapat terbakar secara baik. Jadi minyak harus mendapat tekanan yang cukup sebelum pembakaran, kemudian disemprotkan bersamaan dengan proses pemanasan awalnya sehingga kabut atau uap minyak dapat terbakar secara baik. Hal ini memerlukan kompor yang memiliki tabung bertekanan cukup (sekitar 2 – 3 bar). Kompor semacam ini sudah banyak digunakan oleh para penjual jajanan atau kaki lima, tetapi biasanya menggunakan minyak tanah. Sifat fisikokimia yang berbeda menyebabkan kompor semacam ini harus dimodifikasi agar dapat digunakan untuk BBN dalam bentuk minyak murni.

Reksowardojo et al. (2006) pernah mencoba memodifikasi kompor tekan yang awalnya untuk minyak tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk penyalaan awal memang lebih lama dibandingkan jika menggunakan minyak tanah. Hal ini wajar, karena titik bakar minyak jarak lebih tinggi dibandingkan minyak tanah. Rancangan yang berbeda sudah dicoba dan berhasil dipakai dengan BBN asal kelapa, bunga matahari dan jarak pagar (Muhlbaur et al., 1998 ; Mueller et al., 2006). Jenis rancangan kompor yang cocok masih harus dicoba secara luas dan mendalam agar penggunaan BBN dalam bentuk minyak murni dapat bermanfaat bagi rumah tangga masyarakat kelas bawah di Indonesia. Titik bakar (fuel ignition point) dari BBN yang lebih tinggi dibandingkan minyak tanah atau solar (Tabel 1) menyebabkan perlunya pemanasan awal pada penggunaan kompor tekan tersebut. Hal ini sama seperti halnya pemakaian lampu petromak. Penggunaan kompor tekan dengan bahan bakar minyak tanah juga masih memerlukan pemanasan awal, hanya waktu pemanasannya lebih cepat karena titik bakar minyak tanah lebih rendah dibandingkan minyak jarak pagar maupun minyak kelapa.

Perspektifnya adalah bahwa untuk keperluan rumah tangga, dapat digunakan satu jenis kompor yang bahan minyaknya dapat berasal dari bermacam-macam jenis minyak murni (pure plant oil), baik itu minyak kelapa, minyak jarak pagar maupun minyak kelapa sawit. Dengan demikian, masyarakat luas dapat memilih untuk memanfaatkan minyak murni asal tanaman yang tersedia di sekitarnya, tidak harus terpaku kepada satu jenis tanaman saja. Pemakaian kompor dengan bahan bakar etanol yang juga dapat berasal dari tanaman perkebunan juga perbah dicoba. Oleh karena etanol sangat mudah terbakar, maka dalam hal ini digunakan etanol dengan konsentrasi rendah. Rajvanshi et al (2004) telah mencoba kompor tekan dengan bahan bakar etanol konsentrasi 50 % dan hasilnya cukup aman. Pada penggunaan etanol dengan kosenstrasi sekitar 85% di Brasil dan Afrika Selatan, kecelakaan karena meledak sering terjadi dan menjadi kurang aman. Penggunaan minyak asal lemak nabati tampaknya memang lebih aman. Secara keseluruhan perspeftif penggunaan bahan bakar nabati asal tanaman perkebunan ini sangat berpeluang terwujud karena beberapa percobaan sudah pernah dicoba ke arah ini, apalagi di Indonesia tersedia cukup beragam jenis-jenis tananam penghasil BBN tersebut, termasuk di daerah pedesaan atau daerah terpencil.

Pembuatan minyak murni umumnya hanya memerlukan tambahan biaya untuk memeras dan memproses secara singkat pemurniannya. Biaya produksi minyak murni kelapa atau jarak pagar dapat mencapai Rp. 3.500 - 4.000.- per liter, sedangkan untuk memproses transesterifikasai, masih memerlukan tambahan biaya sekitar Rp. 2.000-2.500,-. Kajian finansial secara lebih mendalam memang masih diperlukan agar diketahui kelayakan penggunaan BBN sebagai alternatif pengganti minyak tanah untuk rumah tangga. Tantangannya adalah bagaimana membuat satu jenis kompor khusus dengan menggunakan BBN dalam bentuk minyak murni dari beberapa tanaman perkebunan. Hal ini tidak perlu mulai dari awal karena beberapa penelitian dan percobaan sudah mengindikasikan bahwa hal ini memungkinkan. Kompor khusus yang dimaksud adalah kompor di mana bahan bakarnya terbakar dalam bentuk uap setelah melalu proses pemanasan dan tekanan. Diperlukan kompor khusus karena minyak murni memiliki titik bakar yang tinggi, yaitu sekitar 300 oC (Muhlbauer et al., 1998), sehingga perlu pemanasan awal agar minyak dapat terevaporasi setelah keluar dari nozlenya.

Pemanfaatan kompor bertekanan yang sudah tersedia di masyarakat untuk dioperasikan menggunakan BBN masih mengalami kendala, khususnya deposit atau penumpukan kerak sisa pembakaran pada nozle yang menyebabkan penyumbatan sehingga proses pembakaran tidak berjalan dengan lancar dan warna apinya merah. Kompor bertekanan rancangan Universitas Hohenheim Jerman (Stumpf et al. 1998) memiliki rancangan spuyer dan bagian pendukungnya yang lebih baik, terbukti dengan nyala api yang kebiruan tanpa jelaga, yang berarti pembakarannya terjadi hampir sempurna. Hal ini disebabkan terutama prinsip rancangan yang berbeda, yaitu dengan membuat minyak terevaporasi lebih dahulu, baru kemudian keluar dari nozzle dan dibakar (Stumpf dan Muhlbauer, 2002). Sedangkan kompor tekanan yang umumnya digunakan pedagang di pinggir jalan, minyak yang keluar dari nozzle dan terbakar masih berupa cairan lembut, sehingga pembakarannya kurang sempurna dibandingkan dengan uap minyak yang terbakar. Beberapa kompor sumbu sebenarnya sudah ada yang sudah mampu menghasilkan pembakarannya, misalnya Butterfly Brass dan sejenisnya yang sudah umum dijumpai, juga kompor Gasmit dari Bandung, tetapi keduanya umumnya masih menggunakan minyak tanah. Beberapa hal masih harus dikaji lebih mendalam, antara lain kesesuaian suatu jenis kompor bertekanan jika digunakan dengan beberapa jenis BBN dari tanaman yang berbeda (kelapa sawit, kelapa atau jarak pagar), karena ketiga jenis BBN ini masih menghasilkan kerak di dalam pipa penyaluran BBN sebelum sampai ke spuyer. Jenis kompor lain yang langsung menggunakan bahan bii jarak pagar juga pernah dicoba, antara lain kompor dengan bahan bakar berupa pasta biji jarak yang dijumpai di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan juga kompor Hanjuang yang menggunakan biji jarak pagar tetapi dengan pemanasan awal. Berdasarkan gambaran pisiknya, nyala api berwarna merah dan masih berasap, suatu hal yang menandakan bahwa pembakarannya kurang sempurna. Secara keseluruhan, teknologi untuk kompor tekan untuk BBN semacam ini lebih baik dan sudah hampir siap dimanfaatkan secara masal oleh masyarakat untuk menggantikan minyak tanah dengan BBN.

Penggunaan minyak asal tanaman juga sangat ramah lingkungan. Emisi hidrokarbon dari penggunaan kompor bertekanan dengan bahan bakar nabati adalah 370 kali lebih rendah dibandingkan dengan pembakaran langsung (kayu maupun bahan bakar minyak), sedangkan emisi karbon monoksida dan nitrogen oksidanya berturut-turut lebih rendah 120 kali dan 15 kalinya (Stumpf dan Muhlbauer, 2002). Oleh karena itu, selain ramah lingkungan karena rendah emisi, pengurangan pengggunaan bahan bakar kayu oleh masyrakat di pinggir hutan merupakan sumbangan nyata dalam menjaga kelestarian hutan. Hal ini berarti juga turut membantu dalam rangka mengurangi percepatan perubahan iklim akibat penggundulan hutan.

Selain berbagai kelebihannya, kompor bertekanan yang teruji baik khusus untuk bahan bakar nabati memang belum tersedia secara luas di masyarakat, apalagi kompor rancangan Universitas Hohenheim tersebut (Gambar 1). Pada tingkat percobaan sederhana dan parsial, berbagai kalangan secara sendiri-sendiri sudah mencobanya. Berdasarkan komunikasi langsung, pihak-pihak tersebut misalnya Puslitbang Perkebunan Deptan, Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Deptan, anggota Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dan oleh para peneliti di ITB Bandung (Reksowardojo, 2005).

Kompor bertekanan rancangan Universitas Hohenheim yang sudah teruji jika menggunakan minyak nabati murni tersebut belum tersedia, namun saat ini sedang dalam tahap uji laboratorium dan uji adaptasi di Indonesia oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Percobaan adaptasi kompor bertekanan tersebut perlu segera dituntaskan dan diformulasikan hasilnya, jika perlu dilanjutkan dan yang lebih penting dalam waktu yang tidak terlalu lama seharusnya segera dimasyarakatkan, termasuk fabrikasinya di daerah-daerah, baik itu kompor rancangan luar negeri maupun dari Indonesia sendiri. Penggunaan bahan bakar nabati asal tanaman perkebunan dapat menggantikan penggunaan minyak tanah, sedangkan fabrikasi kompornya di daerah-daerah dapat membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Dalam jangka panjang, selain dapat mendukung kecukupan energi nasional, juga dapat mendukung upaya pelestarian lingkungan, termasuk pengurangan perubahan iklim secara umum.

Seperti halnya teknologi baru lainnya, diseminasi selalu diperlukan. Berbagai kebiasaan msyarakat dalam menggunakan kompor yang juga bermacam-macam jenisnya makin mempoerkuat pentingnya sosialisasi atau semacamnya, termasuk jenis seperti apa kompor yang dikehendaki. Pengalaman di India juga memperlihatkan yang sama, bahwa dalam upaya sosialsiasi ataupun diseminasi, kompor sebaiknya dibuat sesuai permintaan atau kebiasaan masyarakat (Shastri et al. 2002). Pada rancangan pokok yang sama, perubahan dapat dilakukan sesuai dengan permintaan maupun bahan lokal yang tersedia. Secara pararalel kajian mengenai halini dapat dilakukan agar introduksi teknologi baru tersebut dadpat denngan mudah diterima oleh masyarakat.

Kesimpulan
  • Bahan bakar nabati asal tanaman perkebunan tersedia cukup beragam, sehingga potensinya sangat besar untuk dimanfaatkan oleh masyarakat luas sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak, khususnya minyak tanah untuk rumah tangga.
  • Proses produksi minyak nabati murni atau minyak murni lebih murah dibandingkan biodiesel sehingga akan sangat bermanfaat bagi daerah-daerah pedesaan dan masyarakat kelas bawah.
  • Khususnya bagi masyarakat di pedesaan, potensi minyak murni sebagai pengganti minyak tanah untuk rumah tangga cukup tinggi, walaupun untuk itu memerlukan peralatan atau kompor khusus atau kompor bertekanan.
  • Uji coba awal kompor bertekanan di Indonesia maupun di beberapa negara lain terbukti berhasil baik sehingga risetnya perlu segera dituntaskan dan diformulasikan, agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
  • Fabrikasi kompor tersebut di daerah-daerah dengan menggunakan bahan lokal akan membuka kesempatan kerja serta kesempatan berusaha bagi masyarakat di daerah.
  • Tanaman kelapa dan jarak pagar sebagai tanaman penghasil bahan bakar nabati, potensinya lebih baik dibandingkan jenis tanaman perkebunan lainnya, terutama penggunaan minyak murninya sebagai pengganti minyak tanah dengan memanfaatkan kompor bertekanan yang sesuai.

1 komentar

  1. Anonim // 4 April 2008 pukul 16.09  

    Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
    http://www.infogue.com/
    http://www.infogue.com/bisnis_keuangan/penggunaan_minyak_murni_sebagai_alternatif_pengganti_minyak_tanah_untuk_rumah_tangga/