Ayat-ayat ALLAH

Diposting oleh riza_pratamapurba | Rabu, Februari 27, 2008 | , | 0 komentar »


Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam muqadimah kitab tafsirnya menyatakan tentang kaidah menafsirkan Al-Qur’an. Beliau -rahimahullah- menyampaikan bahwa cara menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Metodologi ini merupakan yang paling shalih (valid) dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Kata beliau -rahmahullah-, bahwa As-Sunnah merupakan pensyarah dan yang menjelaskan tentang menjelaskan tentang Al-Qur’an. Untuk hal ini beliau -rahimahullah- mengutip pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- : “Setiap yang dihukumi Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka pemahamannya berasal dari Al-Qur’an. Allah -Subhanahu wata’ala- berfirman:

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللّهُ وَلاَ تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيماً

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan Kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) membela orang-orang yang khianat.” (An-Nisaa’:105)

3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pernyataan para shahabat. Menurut Ibnu Katsir -rahimahullah- : “Apabila tidak diperoleh tafsir dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kami merujuk kepada pernyataan para shahabat, karena mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui sekaligus sebagai saksi dari berbagai fenomena dan situasi yang terjadi, yang secara khusus mereka menyaksikannya. Merekapun adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang sempurna, strata keilmuan yang shahih (valid), perbuatan atau amal yang shaleh tidak membedakan diantara mereka, apakah mereka termasuk kalangan ulama dan tokoh, seperti khalifah Ar-Rasyidin yang empat atau para Imam yang memberi petunjuk, seperti Abdullah bin Mas’ud -radliyallahu anhu-.

4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pemahaman yang dimiliki oleh para Tabi’in (murid-murid para shahabat). Apabila tidak diperoleh tafsir dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau pernyataan shahabat, maka banyak dari kalangan imam merujuk pernyataan-pernyataan para tabi’in, seperti Mujahid, Said bin Jubeir. Sufyan At-Tsauri berkata : “Jika tafsir itu datang dari Mujahid, maka jadikanlah sebagai pegangan”.

Ibnu Katsir -rahimahullah- pun mengemukakan pula, bahwa menafsirkan Al-Qur’an tanpa didasari sebagaimana yang berasal dari Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- atau para Salafush Shaleh (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) adalah haram. Telah disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas -radliyallahu ‘anhuma- dari Nabi -shallallahu’alaihi wasallam-:


من قال في القرأن برأيه او بما لايعلم فليتبوأ مقعده من النار


“Barangsiapa yang berbicara (menafsirkan) tentang Al-Qur’an dengan pemikirannya tentang apa yang dia tidak memiliki pengetahuan, maka bersiaplah menyediakan tempat duduknya di Neraka.”
(Dikeluarkan oleh At Tirmidzi, An Nasa’i dan Abu Daud, At Tirmidzi mengatakan : hadist hasan).

Al-Qiyadah Al-Islamiyyah sebagai sebuah gerakan dengan pemahaman keagamaan yang sesat, telah menerbitkan sebuah tulisan dengan judul “Tafsir wa Ta’wil”. Tulisan setebal 97 hal + vi disertai dengan satu halaman berisi ikrar yang menjadi pegangan jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyyah.

Sebagai gerakan keagamaan yang menganut keyakinan datangnya seorang Rasul Allah yang bernama Al-Masih Al-Maw’ud pada masa sekarang ini, mereka melakukan berbagai bentuk penafsiran terhadap Al-Qur’an dengan tanpa kaidah-kaidah penafsiran yang dibenarkan berdasarkan syari’at, ayat-ayat Al-Qur’an dipelintir sedemikian rupa agar bisa digunakan sebagai dalil bagi pemahaman-pemahamannya yang sesat. Sebagai contoh, bagaimana mereka menafsirkan ayat:

فَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ أَنِ اصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا


“Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera dibawah penilikan dan petunjuk Kami.” (Al-Mu’minuun :27)

Maka, mereka katakan bahwa kapal adalah amtsal (permisalan,ed) dari qiyadah, yaitu sarana organisasi dakwah yang dikendalikan oleh Nuh sebagai nakoda. Ahli Nuh adalah orang-orang mukmin yang beserta beliau, sedangkan binatang ternak yang dimasukkan berpasang-pasangan adalah perumpamaan dari umat yang mengikuti beliau. Lautan yang dimaksud adalah bangsa Nuh yang musyrik itu….. (lihat tafsir wa ta’wil hal.43).

Demikianlah upaya mereka mempermainkan Al-Qur’an guna kepentingan gerakan sesatnya. Sungguh, seandainya Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alihi wasallam- boleh ditafsirkan secara bebas oleh setiap orang, tanpa mengindahkan kaidah-kaida penafsiran sebagaiman dipahami slaful ummah, maka akan jadi apa islam yang mulia itu ditengah pemeluknya ? Al-Qiyadah Al-Islamiyyah hanya sebuah sample dari sekian banyak aliran/paham yang melecehkan Al-Qur’an dengan cara melakukan interpretasi atau tafsir yang tidak menggunakan ketentuan yang selaras dengan pemahaman yang benar.

Buku Tafsir wa Ta’wil ini berusaha menyeret pembaca kepada pola pikir sesat melalui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat menurut versi Al-Qiyadah Al-Islamiyyah sebagaimana diungkapkan pada hal. iii poin 4 : “Kegagalan orang-orang memahami Al-Qur’an adalah mengabaikan gaya bahasa Al-Qur’an yang menggunakan gaya bahasa alegoris. Bahasa simbol untuk menjelaskan suatu fenomena yang abstrak.”

Mutasyabihat dianggap sebagai majazi sebagaimana pada hal. 39 alenia terakhir.

Penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan dalam buku ini adalah sebagai berikut:

A. Secara garis besar ayat-ayat mutasyabihat (menurut versi mereka) ialah yang berbicara tentang Hari Kiamat dan Neraka dianggap simbol dari hancurnya struktur tentang penentang Nabi dan Rasul, dan pada masa Rasulullah hancurnya kekuasaan jahiliyyah Quraisy yang dihancurkan oleh Rasul dan para shahabatnya.

Lihat:

1. Tafsir Al-Haqqah:16;21
2. Tafsir ayat 6 dari surat Al-Ma’arij hal 30.
3. Tafsir ayat 17 dari surat Al-Muzammil hal. 62.

B. Pengelompokan manusia menjadi tiga golongan:

1. Ashabul A’raf adalah Assabiqunal awwalun.
2.Ashabul yamin adalah golongan anshar.
3. Ashabul syimal golongan oposisi yang menentang Rasul, lihat hal. 24.

C. Penafsiran Malaikat yang memikul ‘Arsy pada surat Al-Haqqah ayat 17 diartikan para ro’in atau mas’ul yang telah tersusun dalam tujuh tingkatan struktur serta kekuasaan massa yang ada dibumi. Lihat hal. 24.

D. Penafsiran (man fis samaa’/siapakah yang ada di langit) dalam surat Al-Mulk ayat 16 diartikan benda-benda angkasa dan pada ayat 17 diartikan yang menguasai langit, menunjukkan bahwa mereka tidak tahu sifat ‘uluw/ketinggian Allah atau bahkan mereka mengingkarinya.

E. Penafsiran (As-Saaq/betis) pada surat Al-Qalam ayat 42, dengan dampak dari perasaan takut ketika menghadapi hukuman atau adzab, lihat hal 18, ini menunjukkan bahwa mereka tidak tahu bahwa Allah memiliki betis atau mengingkarinya.

F. Kapal Nuh adalah bahasa mutasyabihat dari Qiyadah yaitu sarana organisasi dakwah yang dikendalikan oleh Nuh sebagai nakoda ….lihat hal. 42 dan 43.

G. Mengingkari hakekat jin dan diartikan sebagai manusia jin yaitu jenis manusia yang hidupnya tertutup dari pergaulan manusia biasa, yaitu manusia yang mamiliki kemampuan berpikir dan berteknologi yang selalu menjadi pemimpin dalam masyarakat manusia. Golongan jin yang dimaksud pada surat Al-Jin adalah orang-orang Nasrani yang shaleh yang berasal dari utara Arab, lihat tafsir surat Al-Jin hal.16…dst. Dan raja Habsyi yang bernama Negus termasuk golongan manusia jin yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Jin, lihat hal.52.

H. Mengingkari pengambilan persaksian dari anak-anak Adam dialam ruh atas rububiyah Allah yang merupakan penafsiran surat Al-A’raf ayat 173, lihat tafsir surat Al-Insan hal. 85.

I. Menyatakan bahwa penciptaan Adam dan Isa bin Maryam adalah unsur-unsur mineral menjadi kromosom yang kemudian diproses menjadi sperma, lihat hal. 85.

Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan yang lainnya.

Selanjutnya melalui buletin ini kami menghimbau kepada seluruh kaum muslimin dimana saja berada untuk senantiasa waspada dan mewaspadai gerakan sesat ini yang menamakan dirinya dengan Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, diantara ciri-ciri mereka ialah tidak menegakkan shalat lima waktu, berbicara agama dengan dengan menggunakan logika, mencampuradukan antara Islam dengan Kristen,… dll.

alatsar.wordpress.com

Rusaknya Pemahaman Al-Qiyadah Al-Islamiyah

terhadap Kedudukan Hadits

Ingkarussunnah, apapun namanya senantiasa menolak hadits-hadits dengan berbagai macam kerancuan berpikir. Syubhat-syubhat yang basi mereka lontarkan ketengah-tengah ummat dengan harapan mereka akan meraih pengikut banyak.

Bagi orang yang mengamati perkembangan firqah-firqah dalam Islam, tentunya akan mendapati bahwa sebenarnya sudah dibantah oleh para ulama. Namun kebodohan atawa kejahilan para pengekor Al-Qiyadah Al-islamiyah (pengikar sunnah) ini membangkitkan kembali isu lama yang sebenarnya telah terpendam.

Namun, Subhanalloh, Alloh senantiasa menjaga agama ini dengan membangkitkan generasi yang senantiasa berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah sebagai Dua pedoman hidup, yang siapa saja berpegang kepada keduanya maka tidak ada sesuatupun yang akan menyesatkan mereka selama-lamanya.

Pengekor Al-Qiyadah Al-Islamiyah dengan kejahilannya melontarkan syubhat-syubhat yang antara lain akan kita perhatikan pembahasannya berikut ini, semoga hal ini menjadi bahan masukan bagi kita untuk menolak segala syubhat-syubhat pengekor Ingkarussunnah. Insya Alloh.

Mereka berkata ;

Kitab al-Qur’anul Karim adalah sebuah kitab yang dipelihara dan dijamin keotentikannya oleh Allah Subhanahu waTa’ala, tidak demikian halnya dengan hadits-hadits. sebagaimana firman Allah:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan Kamilah yang memeliharanya. [al-Hijr 15:09]

Jawaban :

Ketahuilah bahwa jika Allah Ta’ala menjamin keotentikan alQur’an, hal ini bukan berarti sekedar memelihara dan menjaga huruf-hurufnya saja, tetapi meliputi semua yang berkaitan dengan Alqur’an, termasuk memelihara dan menjaga maksud, pengajaran serta qaidah pengamalannya. 3 hal yang terakhir inilah yang diwakili oleh As-Sunnah atau hadits Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam.

Maka tidaklah mungkin Alloh hanya memelihara huruf-huruf Alqur’an saja sementara ajaran dan maksudnya dibiarkan saja menjadi mainan yang ditolak dan ditarik sesuka hati oleh ummat. Perlu difahami juga bahwa apabila Allah berjanji memelihara Alquran Alkarim, maka maksud pemeliharaan itu adalah dari dua sudut, yang pertama sudut material yaitu sebutan, lafaz dan susunan ayat-ayat Alquran dan yang kedua adalah dari sudut non material, yakni maksud ayat, pengajaran dan qaidah pengamalan ayat. Hadits dan sunnah Nabi sentiasa dipelihara oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan adanya para ahli hadits di setiap generasi yang sentiasa mempelajari, menganalisa dan mengkaji kedudukan isnad sebuah hadits untuk kemudian dibedakan antara yang benar dan yang palsu.

Maka, kejahilan para Ingkarussunnah dengan apapun sebutan kelompoknya telah nyata-nyata diketahui banyak orang dari dahulu hingga sekarang. Karenanya Sungguh benar Firman Alloh Ta’ala, “Telah datang Kebenaran maka lenyaplah kebatilan”.

Namun, tentunya selama syeitan belum pensiun akan tetap ada orang-orang yang menebarkan syubhat, racun-racun yang dihembuskan kedalam pikiran ummat islam ini sehingga dengan perlahan-lahan akan keluar dari Agama Islam yang mulia ini.

Kita mohon kepada Alloh agar ditetapkan kaki kita diatas jalan yang benar, yakni jalan orang-orang yang telah diberikan nikmat atas mereka, jalan generasi salafus sholih.

alatsar.wordpress.com

Kejahilan Al-Qiyadah Terhadap Tafsir

Sudah menjadi ciri pengikut aliran sesat bahwa mereka menggunakan ayat-ayat Alquran untuk membela alirannya dan pemahamannya, padahal Ayat tersebut jauh dari apa yang mereka fahami, bahkan mereka tidak mengerti Asbabunnuzul nya, serta tafsir ayat yang mereka bawakan.

Ingkarussunnah, demikian pemahaman aliran sesat Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Kebodohan yang menyelimuti kepala mereka telah menyebabkan mereka tidak menyadari bahwa tidak ada hujjah sedikitpun yang dapat mereka gunakan dihadapan Ahlussunah waljamaah, Apalagi dihadapan Alloh Subhanahu wata’ala. Berikut ini mari kita menyimak pembahasan tentang kelemahan serta kejahilan hujjah pengikut atau bahkan pentolan dari Aliran sesat Al-Qiyadah Al-Islamiyah.

Hujah Aneh seorang pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah

Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa umat Islam telah membelakangi al-Qur’an dan hanya mengutamakan hadits saja. Sebagaimana disebutkan dalam AlQuran:

Dan berkatalah Rasululloh: “Wahai Tuhanku sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Quran ini satu perlembagaan yang ditinggalkan, tidak dipakai”. [al-Furqan 25:30]

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوراً

Jawaban:

Syubhat ini mudah dijawab apabila kita perhatikan benar-benar kepada siapakah pengaduan Rasulullah tersebut ditujukan. Perhatikan bahwa istilah yang digunakan dalam surah al-Furqan di atas adalah “kaumku” dan bukannya “umatku”. Perkataan kaum lazimnya merujuk kepada satu bangsa, suku atau kabilah, Namun jika dikatakan “umat” maka lazimnya merujuk kepada satu kumpulan manusia yang mengikuti satu jalan atau pimpinan. Seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kaumnya dalam ayat di atas adalah mirip kepada seruan beberapa Rasul dan Nabi sebelum baginda terhadap kaum mereka masing-masing sebagaimana yang telah diungkap oleh al-Qur’an:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ

Dan (ingatlah) ketika Nabi Musa berkata kepada kaumnya: “Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu telah menganiaya diri kamu sendiri dengan sebab kamu menyembah patung anak lembu itu.” [al-Baqarah 2:54]

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلاً وَنَهَارا

Nabi Nuh berdoa dengan berkata: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam (supaya mereka beriman).” [Nuh 71:05]

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوداً قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواْ اللّهَ

Dan kepada kaum Aad, Kami utuskan saudara mereka: Nabi Hud ia berkata: “Wahai kaumku! Sembahlah Allah !” [Hud 11:50]

Nukilan 3 ayat di atas jelas menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul menggunakan panggilan kaumku untuk memaksudkan kepada kaum atau masyarakat yang hidup bersama mereka (Nabi atau Rosul ‘alaihimussalam). Akan tetapi istilah “kaumku” akan berubah kepada “umatku” atau umat saja apabila yang ditujukan adalah sekumpulan manusia yang mengikuti jalan atau pimpinan seseorang Rasul, baik yang hidup sejaman dengan Rasul tersebut ataupun sesudahnya. Perhatikan ayat-ayat berikut:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولٌ فَإِذَا جَاء رَسُولُهُمْ قُضِيَ بَيْنَهُم بِالْقِسْطِ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُون

Dan bagi tiap-tiap satu umat ada seorang Rasul (yang diutuskan kepadanya). [Yunus 10:47]

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus di kalangan tiap-tiap umat seorang Rasul (dengan memerintahkannya menyeru mereka): “Hendaklah kamu menyembah Allah dan jauhilah Taghut.” [an-Nahl 16:36]

كَذَلِكَ أَرْسَلْنَاكَ فِي أُمَّةٍ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهَا أُمَمٌ

Demikianlah, Kami utuskan engkau (wahai Muhammad) kepada satu umat yang telah berlalu sebelumnya beberapa umat yang lain. [ar-Ra’d 13:30]

Perbandingan antara ayat-ayat di atas jelas menunjukkan kepada kita perbedaan antara istilah kaum dan umat. Diulangi bahwa perkataan kaum itu biasanya ditujukan kepada satu bangsa, suku atau kabilah, dan perkataan umat biasanya ditujukan kepada satu kumpulan manusia yang mengikuti satu jalan atau pimpinan.

Maka Penggunaan Kata kaum, juga berbeda dengan penggunaan kata Umat. Simaklah hadits berikut ini ;

Dari Ibnu Abbas (radiallahu-anhu), beliau berkata, telah bersabda Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam tentang Kota Mekah: “Alangkah baiknya engkau (Mekkah) sebagai satu negeri dan alangkah aku sukai, seandainya kaumku tidak mengusirku darimu (Mekkah), niscaya aku tidak tinggal ditempat selainmu (Mekkah).” [Mu’jam al-Kabir) dan al-Hakim, dinilai sahih oleh Syu’aib al-Arnuth dalam Sahih Ibnu Hibban – no: 3709 (Kitab al-Hajj, Bab Keutamaan Makkah)]

Namun jika Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam menyampaikan urusan orang-orang Islam seluruhnya hingga akhir zaman, beliau akan menyebut dengan “umatku” sebagaimana terukir dalam hadits berikut:

Sesungguhnya Allah memberi keampunan dan tidak menghisab segala pembicaraan hati umatku selama mereka tidak mengatakannya atau melakukannya.[HR Bukhari, Muslim]

Perumpamaan umatku adalah seperti hujan, tidak diketahui apakah awalnya yang baik atau akhirnya. [Imam Suyuthi, Jamii-us-Sagheir – hadits no: 8161]

Oleh karenanya pengaduan Rasululloh sallallahu ’alaihi wasallam terhadap “kaumku” dalam ayat diatas sebenarnya merujuk kepada bangsa atau sukunya sendiri pada saat itu, yakni bangsa Quraish.[ al-Zamakhsyari – Tafsir al-Kasysyaf, jld 3, hal 282] Ayat ini tidak ditujukan kepada kita umat Islam karena kita tetap merujuk kepada al-Qur’an serta merujuk kepada Hadits.

Kesimpulan ;

Alangkah Jahilnya orang-orang Al-Qiyadah Al-Islamiyah jika menggunakan ayat tersebut untuk menolak Hadits-hadits Rosululloh shallallohu ‘alaihi wasallam.

Mereka tidak mengerti tafsir, tidak juga ilmu hadits.

0 komentar